Langsung ke konten utama

Unggulan

Elegi Sekuntum Sekar Menjelang Kelam

Hitam kelam dalam putih awan. Bisu rembulan sunyi tak berirama. Separuh purnama bertemu mencium fananya malam. Di bawahnya, ada yang sedang menulis surat cinta kepada Sang Maha Akhir; ada sekuntum sekar yang sedang bernyanyi; ada yang sedang mengucapkan selamat malam pada anestesi; ada pula yang sedang berkelahi dengan takdir ilahi. Mereka sibuk berelegi tentang rindu. Tapi tak tahu apa rindu itu, hanya mereka nikmati indah senyumnya yang menemani mimpi panjangnya. 'tuk sekali lagi; dalam sepi itu, aku mendengar suara binatang menjerit. Tak terkecuali engkau yang berbisik dengan secarik kertas. Bukan telinga yang mendengar, bukan mata yang bersaksi: bahwa hidup, bukanlah tentang mencari sesuap nasi, lalu terkapar di peti mati. Hingga di detik terakhir; Sesaat setelah lantunan suci itu berkumandang; Aku mendengar seruan: “Sang Rajaku, kapan semua ini berakhir?” tanyanya. “Kapan kau siap ‘tuk mengakhirinya, hambaku?” jawab-Nya. Dan akupun bangkit dari peristirahatan panjang itu. (Sum...

Kepada Tulip yang Bermekaran di Seperempat Malam

Sungguh, hanya senyummu yang kumiliki di anganku. Kukira helai demi helai rambut harummu. Agar malam tahu, aku senantiasa terjaga di balik teduh alismu, sembari berpesan kepada bulan agar gelap tak cepat berlalu.


Kita kembali bermesra setelah berhari-hari hilang rasa. Sungguh besar rasa 'tuk kutakan: tak berkurang sedikitpun cinta di tanganku, dan kini yang ada di tanganku adalah tanganmu.


Mata yang berkaca-kaca itu 'tuk sesekali bercermin ke masa lalu, menatap ruang-ruang kecil di rumah sederhana yang kita bangun. Hingga tiba masanya kepada penyucian diri, aku mohon janganlah berpaling dari diri ini.


Sumbawa Besar, 26 Januari 2025

Untuk Pratiwi.

Postingan Populer