Langsung ke konten utama

Unggulan

Elegi Sekuntum Sekar Menjelang Kelam

Hitam kelam dalam putih awan. Bisu rembulan sunyi tak berirama. Separuh purnama bertemu mencium fananya malam. Di bawahnya, ada yang sedang menulis surat cinta kepada Sang Maha Akhir; ada sekuntum sekar yang sedang bernyanyi; ada yang sedang mengucapkan selamat malam pada anestesi; ada pula yang sedang berkelahi dengan takdir ilahi. Mereka sibuk berelegi tentang rindu. Tapi tak tahu apa rindu itu, hanya mereka nikmati indah senyumnya yang menemani mimpi panjangnya. 'tuk sekali lagi; dalam sepi itu, aku mendengar suara binatang menjerit. Tak terkecuali engkau yang berbisik dengan secarik kertas. Bukan telinga yang mendengar, bukan mata yang bersaksi: bahwa hidup, bukanlah tentang mencari sesuap nasi, lalu terkapar di peti mati. Hingga di detik terakhir; Sesaat setelah lantunan suci itu berkumandang; Aku mendengar seruan: “Sang Rajaku, kapan semua ini berakhir?” tanyanya. “Kapan kau siap ‘tuk mengakhirinya, hambaku?” jawab-Nya. Dan akupun bangkit dari peristirahatan panjang itu. (Sum...

Rintik Pilu

apa yang kau mengerti soal hujan, sayang?

sedap aroma tanah,

pun tak pernah kau cium.

hanya riuh gemercik air;

yang menggangu telingamu.


matamu berbinar melihat teja

di balik senyuman mentari kala senja

tapi,

apa yang kau mengerti soal teja, sayang?


bahkan teja tak sempat pamit;

kepada mentari,

yang 'kan berpulang ke balik bukit.


surya pulang ke surga;

katanya mati di balik teja,

sudah lelah memberi cahaya,

kelam bersinar ditemani candra.


riuh gemercik air di malam kelam,

wangi semerbak di tanah yang basah

barangkali dalam ilusi kau tak menduga.

tapi siapa bisa duga?

Postingan Populer