Langsung ke konten utama

Unggulan

Elegi Sekuntum Sekar Menjelang Kelam

Hitam kelam dalam putih awan. Bisu rembulan sunyi tak berirama. Separuh purnama bertemu mencium fananya malam. Di bawahnya, ada yang sedang menulis surat cinta kepada Sang Maha Akhir; ada sekuntum sekar yang sedang bernyanyi; ada yang sedang mengucapkan selamat malam pada anestesi; ada pula yang sedang berkelahi dengan takdir ilahi. Mereka sibuk berelegi tentang rindu. Tapi tak tahu apa rindu itu, hanya mereka nikmati indah senyumnya yang menemani mimpi panjangnya. 'tuk sekali lagi; dalam sepi itu, aku mendengar suara binatang menjerit. Tak terkecuali engkau yang berbisik dengan secarik kertas. Bukan telinga yang mendengar, bukan mata yang bersaksi: bahwa hidup, bukanlah tentang mencari sesuap nasi, lalu terkapar di peti mati. Hingga di detik terakhir; Sesaat setelah lantunan suci itu berkumandang; Aku mendengar seruan: “Sang Rajaku, kapan semua ini berakhir?” tanyanya. “Kapan kau siap ‘tuk mengakhirinya, hambaku?” jawab-Nya. Dan akupun bangkit dari peristirahatan panjang itu. (Sum...

Maafkan Aku, Kota

Aku sibuk menghitung genangan;

Yang tertidur di tengah kota,

Ketika awan kembali gembira.


Senyum murung,

Yang terpampang di wajahnya,

Melukis kehilangan asa,

Yang kabur termakan dunia.


Aku sibuk mendengar tangisan bayi;

Di bawah kemilau kota,

Dan megahnya gedung tinggi.


Tetesan air matanya;

Memberi luka di atas duka,

Tangannya lemah diborgol nafsu dunia.

Hanya sunyi;

Yang menjadi saksi,

Dia tertelan bumi.

Postingan Populer