Langsung ke konten utama

Unggulan

Sesaat Sebelum Melebur

Di hatiku aku menyisakan sedikit tempat untukmu. Walau lebur aku dalam waktu dengan kata-kata yang tak sempat terucap ketika bus itu melintasi gedung-gedung tinggi,  setidaknya kita pernah bernapas di tempat yang sama. Dan kau membawa napas itu kemanapun,  barangkali hingga udara dalam tubuhmu kembali ke atmosfer  yang entah kemana ia 'kan melanglang buana.

Doa Serdadu di Sepertiga Malamnya

Pagi hari;

Sang mentari masih bersembunyi,

Barangkali lelap enggan untuk beranjak.

Butiran embun jatuh di kepala serdadu

Yang sedang berdoa,

Untuk mengulur umur.


Aku berjalan di tengah hutan

Terhimpit di antara relung kata dan tanya

Sembari memikul asa dan petuah;

Beban pikiran menghantui setiap langkah. 

 

Siang hari;

Terik mentari membakar kepala

Dari kejauhan hujan peluru terdengar

Menembus paha,

perut,

dan dada.


Berkobar semangat komandanku menyeru

Maju! Serbu! atau pulang Memalukan!

Aku mengokang senapan,

bersiap menyerbu.

Laju langkah kakiku menembus hutan;

Menebas semak berduri tajam.


Seketika aku terdiam;

Tatapanku tertegun dalam duka

Melihat segala yang ada,

Kembali ke yang maha ada. 


Malam hari;

Aku pulang membawa asa para pejuang

Kepada takdir,

Yang menjadikannya abu di medan perang.


Aku sendiri;

Menatap sayu,

Para serdadu yang terkapar mati.

Paras wajah yang kukenal;

Adalah paras wajah kesetiaan

Yang kini porak poranda

Diguncang kemunafikan.

Segala kejujuran;

Seakan dijual murah

Demi sesuatu bernama

Jabatan.


Saudara-saudara;

Perjuangan kita belum usai.

Peluru kita sudah habis,

Buanglah senjatamu,

Kibarkan bendera Ibu Pertiwi,

Anak cucu kita 'kan menjadi

Saksi.


Tuhan, akankah suatu saat kami merdeka?

Kudengar lirih tuhan seakan menjawab;

Setelah buku-buku itu hidup,

Biarlah segala kata dan doa,

Menjelma menjadi puisi yang bermakna. 

 

 

 


Postingan Populer